Bahagia itu sederhana. Itu adalah salah satu kata bijak yang beredar di dunia maya. Dengan latar belakang gambar empat bocah desa hanya memakai celana. Mereka berlarian di tengah persawahan sambil tangannya melambaikan sesuatu. Entah apa…
Betapa sangat sederhana, pembuat kata bijak itu mengartikan sebuah kebahagiaan. Cukup dengan menerima keadaan, lalu mensyukurinya. Barangkali itulah pesan yang akan disampaikannya. Iya, bocah desa itu tidak harus mempunyai gadget dulu untuk bisa bahagia. Tidak harus memiliki segala fasilitas yang berbau modern dulu untuk bisa bahagia.
Cukup memanfaatkan wahana-wahana yang ada di desanya.
Itu bahagia ala pembuat kata bijak. Lantas bagaimana bahagia ala saya?
Pertama, Bahagia itu ketika dapat menerima keadaan dan mensyukurinya.
Ternyata bukan hal yang mudah bagi saya untuk merasa cukup atau tidak pernah merasa kurang. Dibutuhkan keikhlasan dan kesabaran. Harus senantiasa belajar untuk dapat memahami hikmah Allah menciptakan perbedaan rezeki dan kedudukan di antara hamba-Nya. Perlu sering-sering melihat 'ke bawah'. Dan satu lagi, jangan pernah mengeluh.
Seiring bertambahnya usia, saya bisa menerima dan merasa bahagia dengan apapun yang saya miliki, meskipun tidak sebaik dan semahal yang dipunyai orang lain.
Kedua, bahagia itu ketika memiliki pasangan yang saleh.
Kriteria pasangan saleh, di antaranya kuat amalan agamanya, bagus akhlaknya, santun, mengayomi, berwibawa, pemurah, penyabar, dan pemaaf. Mampu memimpin dan mendidik anak isteri. Dapat menjaga perilakunya baik di dalam ataupun di luar rumah.
Tidak ada manusia yang sempurna. Begitu pula pasangan saya. Tapi alhamdulillah, ia selalu sabar menasehati, membimbing membaca Al Qur'an, mengajak ke majelis ilmu dan ke arah kebaikan-kebaikan lainnya. Itu semua merupakan kebahagiaan bagi saya.
Ketiga, bahagia itu ketika memiliki anak yang saleh/salehah.
Kata anak saleh dalam kamus bahasa Indonesia adalah anak yang taat dan sungguh-sungguh menjalankan ibadah. Sedangkan ciri-ciri anak saleh disebutkan dalam Al Qur’an, di antaranya yaitu Surah Al-Luqman : Ayat 15-19 yang artinya
“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepadaKulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (Luqman berkata): "Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui. Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.”
Dari ayat-ayat tersebut, ciri-ciri anak saleh adalah: berbuat baik kepada kedua orang tuanya; menjauhi perbuatan yang tidak baik, sekalipun pada masa itu tidak ada orang mengetahuinya; mendirikan solat; mengajak manusia kepada kebaikan; menjauhi kemungkaran; bersabar menghadapi cobaan dalam kehidupan; tidak bersikap sombong; tidak melakukan perkara yang tidak baik dalam masyakarat; selalu bertutur dengan sopan; dan menghormati orang lain.
Semua orang tua mendambakan anak-anak nya menjadi anak saleh, seperti yang disebutkan dalam Surat Al-Luqman. Tak terkecuali saya. Berbagai upaya pun dilakukan untuk mewujudkannya.
Salah satu upaya yang kami lakukan adalah memasukkan anak ke pondok pesantren dan rumah tahfiz. Apa hasilnya? Anak saya menunaikan salat tanpa disuruh, santun pada siapapun, selalu berbicara sopan, istiqomah di jalan kebaikan.
Yang lebih membuat saya bahagia, ketika suatu hari seorang ustazah dari rumah tahfiz menyampaikan anak saya menyetorkan hafalan terakhirnya. Ia selesai menyetorkan 30 juz selama 24 bulan dan 8 juz sudah diujikan.
Keempat, bahagia itu ketika bisa tinggal di lingkungan yang mendukung keimanan kita.
Atas kehendak Allah, tempat tinggal saya bersebelahan dengan musala. Bertetangga dengan orang-orang yang baik akhlaknya. Mereka juga gemar meramaikan musala dengan aktivitas-aktivitas ibadah.
Demikian serangkaian hal yang membuat saya bahagia. Semoga bermanfaat…