By Siswi Mardiastuti
Selama masa pandemi COVID-19, Pak Han (begitu orang-orang menyapanya) membiasakan diri bersepeda. Tepatnya sejak hari kelima bulan Ramadhan tahun ini.
Olahraga barunya itu dilakukan setiap jam setengah enam, setelah menyelesaikan satu juz bacaan Al-Qurannya. Kembali ke rumah sekitar satu jam kemudian. Untuk menghindari kebosanan, Pak Han pun menempuh rute yang berbeda setiap harinya. Kadang di jalan datar. Namun, tak jarang pula ia memilih jalan yang menantang.
*
Kemarin malam...
Pak Han bersama belahan jiwanya menghabiskan malam minggu hanya dengan duduk-duduk di ruang depan. Ruang yang biasa digunakan untuk menampung tamu-tamunya.
Pria berkaos putih dan bawahan sarung warna biru elektrik itu dengan lihai memainkan gitar, seraya bersenandung Titip Rindu Buat Ayah. Suara khasnya membuat 'adem' hati yang mendengarkannya.
...Ayah dalam hening sepi kurindu
Untuk menuai padi milik kita
Tapi kerinduan tinggal hanya kerinduan
Anakmu sekarang banyak menanggung beban...
'Tes!'
Mendadak tak bisa ditahan, buliran bening menetes di pipi Bu Susan. Wanita yang dipersunting Pak Han dua puluh tahun yang lalu. Entah apa yang terbayang dalam benaknya. Bapaknya? Bapak kandung, juga bapak mertuanya masih ada. Barangkali wanita yang hampir lima dasa warsa itu terbayang kedua ibunya yang telah lebih dulu menghadap-Nya.
"Yang..." Pak Han meletakkan gitar, menyapa lembut isterinya.
Yang itu bukan eyang, tapi sayang. Itu panggilan Pak Han pada ibu dari anak semata wayangnya.
"Eh, iya Mas." Bu Susan bergegas mengeringkan pipinya dengan tissue yang ada di hadapannya.
Seorang ibu yang dulu terkenal tomboy itu paling malu bila ketahuan menangis.
Yuk, besok sepedaan ke Salatiga!" ajak Pak Han.
"Haaahhh?!" Bu Susan menjawab sambil melotot. Bola matanya hampir copot.
"Mau nggak?"
"Dari sini?" tanya Bu Susan masih tidak habis pikir.
"Tiga puluh kilometer lho, Mas... Aku tak akan kuat lah...." lanjutnya lagi. Ia bak pejuang yang udah menyerah sebelum perang.
Pak Han duduk lebih mendekat, hampir tak ada sela di antara mereka berdua. Seraya menirukan gaya bicara Dilan dalam film DILAN 1990, ia menjawab, "Ya, nggak lah, Yang.... Aku tahu, kamu tak akan kuat. Biar aku aja..."
Dirayu-rayu Pak Han, hati Bu Susan pun luluh. Bukan Pak Han namanya, kalau tidak bisa menahlukkan hati Bu Susan. Akhirnya Bu Susan menyetujui ajakan suaminya.
*
Segala sesuatu perlu direncanakan. Hal sekecil apapun. Termasuk dalam bersepeda.
Sebelum berangkat tidur, dua insan yang anaknya sudah perawan itu mematangkan rencana untuk keesokan harinya. Mulai dari rute yang akan dilalui, bekal makanan dan minuman, serta perlengkapan yang akan dibawa.
Agar tak tergesa-gesa, malam itu juga, Pak Han mengemasi dua sepeda. Mengambil dua helm, dua pasang kaos tangan, dan dua pasang sepatu. Satu persatu dinaikkan ke 'gerobak'-nya.
"Yang, tolong ini dimasukin ke mobil ya! Aku mo ke belakang." Sambil terburu-buru, Pak Han menyodorkan roda depan sepeda balapnya pada Bu Susan. Rupanya Pak Han ada panggilan alam.
Tak berselang lama, ponsel Bu Susan yang berada persis di sampingnya bergetar. Pertanda ada notifikasi masuk. Ia menaruh roda sepeda begitu saja, lantas mengambil ponselnya. Menemukan satu pesan dari putrinya.
[Assalamu'alaikum... Buk, besok kalo ada waktu, tolong gamisku yang merah maroon dipaketin ya. Makasih.]
[Wa'alaikumussalam. Siap, Bidadariku.]
*
Pagi harinya, kala jarum pendek berada di antara angka tiga dan empat, secara bersamaan mereka keluar dari kamar. Seperti pagi-pagi lainnya, sepasang pengantin kawak yang tinggal di rumah berdua saja itu langsung menunaikan rutinitas ibadahnya.
Tak lama kemudian, sekitar pukul lima mereka meluncur ke kota terindah di Jawa Tengah, Salatiga. Sebuah kota sejuk yang dikelilingi oleh Gunung Merbabu, Gunung Gajah dan Gunung Telomoyo.
Berada di lereng pegunungan. Terbayang kan, bentang alamnya seperti apa?
*
Sesudah menyusuri jalan selama satu jam lima menit, akhirnya sampai juga di tempat yang dituju. Lapangan Pancasila, lapangan yang dijadikan alun-alun kota Salatiga.
Tampak sejumlah fasilitas untuk berolahraga di lokasi itu. Di samping peralatan kebugaran yang terpasang permanen di sebelah timur dekat dengan monumen, ada juga jogging track di sepanjang keliling tanah lapang. Yang dibuat dari material khusus yang bisa menyerap air dengan warna beragam.
Namun, kedatangan Pak Han bukan ingin fitness atau jogging. Sama sekali tak terpikirkan untuk itu. Pak Han hanya akan memarkirkan kendaraan roda empatnya di sekitar lapangan.
Usai menghentikan kendaraan di tempat parkir, Pak Han menurunkan sepeda lipat dari bagasi.
"Yang, nih sepedanya."
Dari pada duduk diam menunggu Pak Han membetulkan sepeda balapnya, Bu Susan dengan helm yang bertengger di kepala langsung ngacir. Berkeliling mengitari lapangan.
Satu putaran sudah dilampaui Bu Susan. Sementara Pak Han terlihat masih jongkok di tempat semula.
"Mas, ayoook..."
"Coba lihat itu!" Telunjuk Pak Han menuding sepedanya.
"Kok belum dipasang?"
"Emang rodanya mana?"
"Ups! Iyaa... Semalam begitu ada WA dari Hanifah, kutaruh begitu aja." Bu Susan sembari menepuk jidatnya.
Gagal. Meskipun sudah direncanakan secara matang ternyata bisa gagal. Gara-gara ada yang terlupa. Rencana tinggal rencana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar