"Buuuk... Pingin minuuuum...." Sambil memegang gagang pintu kulkas, Dino merajuk pada Rina, ibunya.
Rina menoleh, tangannya masih penuh busa sabun cuci piring. "Sayang, ini kan masih jam 7. Nanti jam 10 ya."
"Tapi aku hauuus. Boleh yaaa, dikit aja kok... Nanti puasa lagi. Boleh ya...?"
"Bu Guru kemarin bilang apa, Dino belajar puasanya sampai jam 10. Begitu kan?"
"Sedikiiiit aja kok. Boleh ya, Buk?" Anak berkaos biru bergambar tayo itu tetap merajuk. Butiran keringat di dahinya menetes. Ia mungkin capek, setelah bersepeda dengan kawan-kawannya.
"Nggak boleh, sayaaaang..."
"HUAAAA... HUAAAAA.... HUAAAAAA..."
Rina buru-buru menutup mulut si kecil yang masih duduk di TK kecil dengan telapak tangannya, agar tangisnya tidak membangunkan bapaknya. Namun saking banternya, suara itu terdengar juga oleh bapaknya.
'Klontaaang... Klontaaaang!!!'
Terdengar suara logam menatap benda keras berkali-kali. Disusul teriakan menggelegar Herman, suami Rina.
"RINAAAAA.....!!!!"
"RINAAAAA.....!!!!"
Rina melepaskan tangannya dari mulut Dino. Bocah berumur lima tahun yang masih menangis sesenggukan ditinggalkan begitu saja. Wanita yang cekatan dalam segala hal itu berlari tergopoh-gopoh menuju tempat asal lengkingan suara yang memanggilnya.
'Klontang!'.
"Innalillahi..." teriaknya spontan. Langkah Rina terhenti ketika kakinya menyaruk cangkir blirik ijo. Setahunya saat sahur tadi, cangkir jadul itu berada di atas meja kecil dekat rak TV. Lelaki penggemar kopi yang membawanya lima belas menit sebelum imsak. Itu kebiasaan yang selalu ia lakukan di bulan Ramadhan ini, menghabiskan waktu sahurnya dengan nonton TV sembari mencecap kopinya sampai habis.
"Oh, ini rupanya..." Rina bergumam lirih seraya berjongkok memungut cangkir yang tidak akan pecah meski dibanting berkali-kali. Pagi ini entah bantingan yang ke berapa. Wanita yang selalu sabar melayani suaminya itu tak pernah menghitungnya. Namun setidaknya, sekarang ia merasa aman. Tak pernah lagi terluka akibat serpihan gelas yang menusuk kulitnya.
Sebelum akhirnya Rina memutuskan untuk membeli cangkir tahan banting, sudah tak terhitung dengan jari kulit mulusnya terluka. Tapi sepertinya, sakit yang dirasakan tidak sampai menembus hatinya. Nyatanya, luka berdarah yang sering dialami tidak membuatnya benci pada lelaki pilihannya sendiri.
Semakin bahagia, semakin cepat masa penyembuhan luka. Itulah salah satu motto hidupnya. Jangankan luka yang hanya membuat kulitnya terbuka tidak begitu lebar, luka batin akibat perceraian orang tuanya saja mampu ia sembuhkan. Walaupun membutuhkan waktu yang memang tidak sebentar.
Orang tua Rina bercerai saat ia akan memasuki bangku SMP. Pengalaman itu sempat membekas dalam ingatannya. Hingga ia pernah merasa tak percaya dengan sosok seorang bapak. Betapa tidak, bapak yang menjadi figur untuk diteladani malah menceraikan ibunya. Dan semenjak perceraian itu, ibunya harus membanting tulang menghidupi ia dan adik-adiknya.
Rina tidak ingin anak-anaknya mengalami hal yang sama. Untuk itulah, apapun perlakuan suaminya ia selalu berusaha sabar. Biarpun sering dimaki dan dimarahi, ia berupaya untuk tetap taat pada suaminya. Bagi wanita yang rajin mengikuti pengajian itu, taat suami merupakan salah satu kunci surganya.
"Ada apa bengong di situ!" Bentakan Herman mengagetkan Rina yang masih dalam posisi jongkok.
"Ini mengambil cangkir." sahut Rina dengan suara lemah.
"Kenapa Dino nangis? Ngganggu orang tidur aja!" nada Herman kesal.
"Dia merengek minta minum."
"Ya udah. Dikasih aja."
"Tapi ini belum ada jam 10, Mas... Dia kan belajar puasa."
"Udah, udah... Terserah!" Herman merebahkan tubuh kekarnya kembali di kursi panjang dekat rak TV. Ia tidak ingin mendengar penjelasan Rina panjang lebar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar