Berkah Corona
Rina melihat jam yang tertempel di dinding dan tersentak kaget. "Aduh sudah jam 12.18. Astaghfirullah. Aku belum salat zuhur."
Sejak tadi Rina sibuk membereskan tumpukan pakaian yang baru saja selesai ia setrika. Sudah dua hari, ia tidak sempat menyetrikanya.
Wanita yang terbiasa salat di awal waktu itu bergegas menuju tempat wudu yang terletak di samping mihrabnya. Tempat salat yang ia namai mihrab hanya berukuran 2 x 3 meter. Cukup untuk berjamaah keluarga kecilnya. Ada lemari kecil tempat penyimpanan Al Qur'an dan beberapa peralatan ibadah lainnya.
"Buk, Dino ikut salat!" Kedatangan Dino mengejutkan Rina.
Memang begitu kebiasaan Dino setiap tahu ibunya salat. Kemudian ia berlari kecil mengambil sarung celana hadiah ulang tahun dari bapaknya.
"Eiiits, sudah berwudu?" Rina mengingatkan Dino yang tiba-tiba berdiri di sampingnya.
Dino menepuk jidatnya sendiri. "...oh, iya!"
Ketika Rina selesai menggantung mukena, samar terdengar suara menari-nari di udara dari pinggir jalan. Seolah sedang merayu-rayu ibu-ibu penduduk kampung. "Yur... Sayuuur... Yuuur... Sayuuuurrrr...."
Pertanda penjual sayur sudah datang. Penjual yang biasa disapa dengan panggilan Mbak Rumi itu merupakan tetangga Rina yang tinggal di RT sebelah. Sudah hampir lima tahun ia berjualan keliling. Tapi dengan adanya wabah pandemi Covid-19 yang menghantam berbagai negara di dunia belakangan ini, ia hanya dibolehkan menjajakan dagangannya di kampungnya sendiri. Untuk mengurangi kontak dengan orang banyak.
Mulai sebulan yang lalu, penampilan Rumi pun berubah. Sudah tidak tampak lagi bibirnya yang seksi dan menor. Batang hidungnya yang besar dan menonjol juga tidak kelihatan. Organ-organ cantiknya tersembunyi di balik masker kain, termasuk dagunya yang terbelah.
Namun, kondisi tersebut mendatangkan keuntungan tersendiri bagi Rumi. Para ibu yang biasanya berbelanja di pasar atau di tempat lain, sekarang beralih melarisi dagangannya. Dahulu jumlah pelanggan dari kampungnya hanya sekitar 15 orang per hari, kini ia harus melayani 35 sampai 40 pelanggan per hari.
Rumi juga mematuhi himbauan social distancing atau jaga jarak yang gencar diserukan oleh pemerintah guna memutus mata rantai penyebaran virus corona. Pelanggannya juga sudah menyadari akan hal tersebut. Mereka berbelanja secara bergantian.
"Siang, Bu Rina." sapa hangat Rumi.
Rina membalas sapaan Rumi dengan senyuman. Lalu buru-buru memilih barang belanjaan yang dibutuhkan. Padahal kemarin-kemarin, Rina setidaknya menghabiskan waktu 30 menit untuk berbelanja. Bukan karena bingung akan berbelanja apa, tapi karena lama mengobrol.
"Kepala ikan manyungnya berapaan, Mbak?"
"Lima belas ribu aja, Bu."
"Bungkuskan satu..."
Iya, Rina sengaja membelinya satu saja. Hanya suaminya yang doyan kepala ikan manyung. Dimasak dengan kuah santan, dicampur dengan terong.
Rumi sudah mengetahui kebiasaan Rina, karena sudah cukup lama menjadi pelanggannya. Bahkan ia menangkap dari cerita Rina setiap kali berbelanja, kalau Rina selalu mengutamakan suaminya. Penjual sayur yang berusia sekitar 40 tahun itu acapkali berdecak kagum, setiap Rina menceritakan apa-apa yang menjadi kesukaan suaminya. Sementara ia di rumah selalu memasak sesuai seleranya sendiri.
"Tambah ini, Mbak!" Rina menyodorkan bayam satu ikat, 2 papan tempe dan sebungkus tahu putih.
Tempe, hidangan yang tak pernah absen di meja makan Rina. Mereka bertiga penggemar tempe. Disajikan dengan berbagai olahan. Mulai dari sekadar digoreng, dibacem, disemur atau bahkan dibuat nugget. Kadang hanya dimakan mentah begitu saja, dipadu dengan kurma.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar