Minggu, 28 Juni 2020

BUKAN NGEDATE BIASA



Penasaran. Satu kata yang mewakili isi kepalaku sampai detik ini. Entahlah, masih saja ingin tahu. Sangat ingin tahu. Mengapa mereka dengan mudah mendapatkan ide? Mengapa mereka dengan mudah mengemas ide menjadi tulisan yang menarik? Mengapa? Mengapa? Mengapa?

Beberapa kali aku mengikuti pelatihan menulis buku, baik offline maupun online. Membaca buku-buku yang berkaitan dengan menulis buku. Menonton youtube sekitar kepenulisan buku.

Sudah sering mengikuti  pelatihan dan membaca mengenai tulis-menulis buku. Apakah aku sudah menghasilkan buku? Belum. Sekadar pembaca tahu, sebenarnya aku sangat malu untuk mengatakan yang sejujurnya. Tapi setidaknya aku telah berusaha. Tidak ada salahnya kan?

Tidak ada yang sia-sia. Apapun yang kita lakukan pasti ada manfaatnya. Dari berbagai pelatihan itu, meski aku belum mewujudkan sebuah buku tapi aku sudah mendapatkan banyak hal yang berharga. Banyak sekali pelajaran yang kuterima.  Memperoleh ilmu yang berlimpah. Menemukan pengalaman yang tak terhitung. Di dunia nyata dan di dunia maya, temanku bertambah. Kemudian yang paling membahagiakan, dapat menjumpai penulis-penulis hebat. Walaupun secara tak langsung. Karena dari merekalah aku terinspirasi untuk menulis.

Jangan tanya berapa banyak tulisanku? Masih bisa dihitung dengan jari. Itupun kutulis di blog ini baru-baru saja. Dulu, pernah ingin mengikuti tantangan menulis di sebuah event. Untuk melatih konsistensi dalam menulis. Tapi baru sampai hari ke sekian sudah berhenti. Gagal? Iya, saat itu memang ada banyak alasan untuk jeda menulis. Hehee...

Namun, aku tidak berhenti menulis. Nyatanya hari ini aku masih menulis di sela-sela "ngedate" dengan suami.  Padahal semula aku baru akan menulis setelah pulang dari "ngedate". Eh, sampai di tengah perjalanan, tiba-tiba ingin menulis.

Kata "ngedate", sebenarnya sebuah kata yang kutulis di status whatsapp pagi tadi. Aku memang sengaja memilih kata yang biasa digunakan anak-anak muda sekarang. Agar terkesan seumuran dengan mereka. Boleh-boleh saja kan?

Bukan ngedate biasa. Iyalah, ngedate-ku hari ini tidak sekadar menikmati pemandangan. Tidak hanya main ayunan di taman. Tidak semata-mata menghirup sejuknya udara pegunungan. Dan tidak berwisata kuliner belaka. Akan tetapi ada hal yang lebih bermakna. Menciptakan sebuah tulisan. Semoga istiqomah...


KETIKA TAK ADA PILIHAN


Oleh : Siswi Mardiastuti

Sepanjang perjalanan kita menapaki kehidupan, terkadang dalam beberapa hal tidak menyajikan pilihan. Mau tidak mau kita harus menerima. Dan tanpa tanya mengapa tentunya.

Menerima segala hal yang terjadi dengan senang hati dan lapang dada adalah pilihannya. Tanpa merasa kesal, kecewa apalagi tertekan. Bukankah itu semua merupakan kehendak Allah Yang Mahakuasa? 

Iya, apapun yang terjadi kita wajiblah ridha. Dengan ridha, akan timbul rasa optimis yang kuat dari dalam diri. Dapat mengambil hikmah dari setiap peristiwa kehidupan yang terjadi. 

Jauh dari sifat iri hati, hasad dan dengki. Akan selalu berprasangka baik terhadap ketentuan-ketentuan Allah. Akan tumbuh rasa cinta kasih terhadap sesama makhluk, dan akan lebih dekat dengan Allah.

Ridha tidak berarti pasrah. Namun harus tetap berikhtiar dalam segala hal, sesuai dengan kemampuan. Serta dengan iringan doa mestinya. 

Allah berfirman dalam Al Qur'an, Surat Al-Mukmin ayat 60 yang artinya: “Dan Tuhanmu berfirman: “berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Ku-perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka jahannam dalam keadaan hina dina.” 

Sabtu, 27 Juni 2020

CINTA KARENA ALLAH



“Dan Kami ciptakan segala sesuatu berpasang-pasangan supaya kalian mengingat akan kebesaran Allah.” 
(Q.S Adz-Dzariyat: 49)

Oleh : Siswi Mardiastuti



T
iga tahun delapan bulan dua puluh satu hari, usia pernikahan Tina dan Hadi. Mungkin belum cukup lama untuk mengenal dan memahami satu sama lain dalam sebuah maghligai rumah tangga.



“Mbak, aku kesal sama kelakuan Mas Hadi. Tiap habis mandi, handuknya selalu ditaruh di atas tempat tidur. Sudah ku ingatkan berkali-kali, masih saja begitu. Tadi pagi juga.” Dengan sangat jengkel Tina menceritakan perilaku buruk suaminya pada Nunung, sahabatnya di tempat ia bekerja.

Nunung merespon curahan hati Tina dengan melontarkan pertanyaan, “Terus handuk itu kau biarkan sampai suamimu pulang?”

“Tidaklah… Pasti ku letakkan lagi di rak.”

“Bagus… Memang begitu seharusnya.” Nunung memuji Tina dengan mengacungkan dua jempolnya.

“Harus?” tanya Tina sambil mulutnya menjorok ke depan.

Jadi aku juga harus menata sepatunya yang setiap pulang kerja ditinggal begitu saja di teras? Capek deh.” lanjut Tina sembari menepuk jidatnya.

”Kalau menurutmu?” Nunung tidak menjawab pertanyaan sahabatnya itu, tapi malah melempar pertanyaan balik.

“Kita kan sama-sama bekerja. Kalau menurutku… Yah, sebaiknya saling membantu. Tidak harus semua aku yang mengerjakannya.” Tina membeberkan maksud hatinya.

“Lalu, sudah kau sampaikan hal itu pada suamimu?”

“Kalau aku marah-marah, seharusnya dia paham tanpa aku jelaskan.”

“Tina sayang… Kenyataannya, apakah suamimu sudah paham?”

Tina terdiam. Kelihatannya ia sedang berpikir, jangan-jangan selama ini suaminya memang belum memahami keinginan hatinya.

***

Setiap Selasa sore, Tina aktif mengikuti pengajian Ibu-ibu di kampungnya. Biasanya ia berangkat langsung dari kantor. Ia khawatir kalau pulang dulu ke rumah, merasa berat untuk pergi lagi. Alasannya pasti ada-ada saja. Seperti, anaknya tidak mau ditinggal, pekerjaan rumah menumpuk, hujan, dan segudang alasan lainnya. Tina tak ingin melewatkan kesempatan baik itu. Ia tak ingin menyia-nyiakannya.  

Selepas pulang taklim pekanan sore itu, Tina seperti merasa diingatkan lagi untuk kesekian kalinya. Yakni mencintai hanya karena Allah. Cinta karena Allah  dalam penjelasan Ustazahnya tentang cinta terhadap pasangan hidup.

Ikhlas merupakan tombol 'power' cinta karena Allah. Insya Allah jika ikhlas mencintai pasangan hanya karena Allah, hidup akan aman, tentram dan bahagia.

Setiap pasangan pasti ada masalah dalam mengarungi bahtera rumah tangganya. Namun masalah tersebut tidak akan terasa berat bila sejak awal ikhlas menerimanya. Masalah kecil tak akan menjadi besar. Bahkan yang bukan masalah tak akan jadi masalah. 

Handuk dan sepatu yang tidak pada tempatnya pun tak akan menjadi pemicu masalah. Karena bagi pasangan yang ikhlas, cintanya hanya karena Allah, handuk dan sepatu bisa jadi ladang pahala.

Uraian singkat yang disampaikan Ustazahnya sangat menyentuh hati Tina. Ia jadi teringat unek-unek yang dicurahkannya pada Nunung tiga bulan yang lalu. Ia jadi malu pada dirinya sendiri.  Memang tak seharusnya ia menuntut kesempurnaan Mas Hadi, suaminya. Justru semestinya ia harus menyadari bahwa suaminya hanya manusia biasa yang jauh dari kata sempurna. Sehingga wajib ikhlas menerima segala kekurangannya. 

Memahami satu sama lain menjadi sangat penting untuk bisa menjalani hubungan yang harmonis. Langgengnya hubungan tak berbanding lurus dengan berapa lama saling mengenal satu sama lain. Namun kuncinya terletak pada komunikasi yang baik.

Jumat, 26 Juni 2020

KAMPUS API ABADI, Sebuah Tempat Sejuta Makna


By Siswi Mardiastuti

“Love never keeps a man from pursuing his destiny.”

(The Alchemist - Paulo Coelho)



Sepulang dari pelatihan,  aku membuka ponsel sekadar memeriksa notifikasi. Ratusan pesan masuk di beberapa grup Whatsapp-ku. Sebagian pesan yang telah kubaca, kubersihkan agar tak memenuhi memori.
           
Meski tak ada notifikasi instagram yang muncul di layar ponsel, aku juga membuka akun yang sudah lama kubiarkan itu. Aku memandangi satu per satu photo yang pernah kuunggah, kubaca caption-caption nya. Sambil sesekali tersenyum sendiri saat menemukan caption yang lebay dan alay.
           
Ada sebuah photo yang mengingatkanku tentang sepenggal kisah cinta. Photo “Kampus Api Abadi”, captionnya “Sebuah tempat sejuta makna. Itu bagiku. Bagimu?” 

Seingatku, photo itu juga kuunggah di facebook, ada yang komentar bahwa tempat itu juga sangat berarti baginya. Bahkan minta ijin padaku untuk membagi photo tersebut di dinding facebook-nya. Ternyata bermanfaat juga bagi orang lain. Padahal aku mengambil photo itu dengan tak sengaja, sekenanya saja. 

Waktu itu, aku bersama suami sedang menjemput anak kami yang memang menimba ilmu di situ. Putri semata wayang kami pulang study tour dari Bali. Beberapa bis sudah ada yang datang, tapi bis yang ditumpanginya belum kelihatan. 

Diparkirkanlah mobil di halaman depan sekolah itu. Berhubung tak ada tempat untuk duduk di sekitar situ, aku tetap di dalam mobil. Tiba-tiba begitu melihat tulisan “Kampus Api Abadi”, refleks saja tangan ini “cekrek”. Kemudian sampai di rumah terpikirlah untuk mengabadikan sebuah kenangan cinta. Lalu keluarlah caption seperti itu.

Kampus Api Abadi merupakan kampus sebuah sekolah menengah atas  yang letaknya dekat dengan lokasi wisata Api Abadi Mrapen, Kecamatan Godong, Kabupaten Grobogan, Provinsi Jawa Tengah. Di sekolah ini pertama kali aku mengajar. Di tempat ini pula aku dipertemukan dengan tambatan hati.

Tepatnya bulan September 1997, secara bersamaan kami diterima di sekolah tersebut sebagai guru honorer. Aku mengajar Ekonomi/Akuntansi, ia mengajar Pendidikan Agama Islam. Kami juga sama-sama mendapatkan tugas mengajar kelas dua. Usiaku ketika itu 25 tahun 6 bulan, Usianya 24 tahun 6 bulan. Satu tahun lebih muda dariku.

Itulah mengapa aku menolak ketika ia pertama kali menyatakan keseriusannya untuk mengajakku menikah. Tak ada bayangan sama sekali akan berumah tangga dengan orang yang lebih muda. Apalagi waktu itu penampilannya tak jauh beda dengan murid-murid kami. Iya, posturnya masih seperti anak SMA. Meski secara pola pikIr sebenarnya dia cukup dewasa dan mandiri. Namun, itupun belum membuatku bisa menerima niat baiknya.

Selang waktu berjalan ia kembali menanyakan tentang niat awalnya ingin menikahiku. Rupanya ia istiqomah dengan niatnya. Kali ini aku tak begitu saja menolak. Aku minta waktu untuk memutuskan jawabannya. Aku mulai teringat doa-doa yang selalu aku panjatkan tentang sosok pria idaman. Doaku cukup sederhana, aku ingin mendapatkan calon suami  yang paham agama sehingga bisa menjadi imam yang baik. Begitu saja. Kulalui hampir setiap malamku dengan istikharah.

Alhamdulillah… Bersama waktu yang telah kulewati, Allah menjawab doa-doaku.

Rabu, 24 Juni 2020

RUMAH IDAMAN

Meski bukan rumah idaman bagi kebanyakan orang, akan tetapi mereka nyaman berada di dalamnya. Karena bukan tanpa alasan mereka memutuskan untuk memilih tinggal di situ. Di rumah yang didirikan di atas tanah kakak tertua Hafid.

Awalnya, Hafid minta pertimbangan pada Hanun. Sebelum mendirikan rumah di atas tanah yang memang tak seberapa luas itu.

“Dik, gimana kalau kita bikin rumah? Kecil-kecilan aja.” Hafid mengawali pembicaraannya sambil berdiri di pintu kamar.

“Emang kita punya tanah?” jawab Hanun yang sedang duduk di tepi ranjang kayu sambil menidurkan buah hatinya.

“Ya nggak…” Hafid menjawab lirih sambil melangkah menghampiri wanita yang berusia hampir tiga puluhan itu.

Hanun tersenyum memandang wajah laki-laki yang usianya setahun lebih muda darinya. “Lalu kita mau bikin rumah di mana, Mas?”

“Begini Dik, ada tanah kosong milik Mbak Zahra. Tanah itu tuh, yang di depan Mushola Al Ikhlas. Tahu nggak?”

“Tanah itu kayaknya sempit ya, Mas?”

Hanun sepertinya agak keberatan. Hanun menginginkan tanah yang lebih luas. Seperti impiannya waktu kecil, memiliki rumah dengan halaman yang luas dan kebun buah di belakang rumah.

Impian yang terinspirasi dari sebuah rumah dekat rumah kontrakan orang tuanya dulu. Rumah yang besar dan megah, halamannya sangat luas penuh dengan tanaman buah. Pagarnya tinggi terbuat dari besi. Catnya putih. Mewah. Entahlah rumah itu milik siapa. Kata penjaganya, rumah itu dulu milik orang Belanda. Sekarang rumah itu masih ada. Namun tampak tak terawat dan agak menyeramkan. 

Dahulu Hanun bersama teman-teman SD-nya sering bermain ke rumah itu. Mereka sering mengambil buah bentuknya bulat kecil, warnanya ada yang oranye, ada yang merah. Mungkin yang merah itu yang sudah matang. Salah satu dari mereka pernah bertanya pada penjaga rumah itu, namanya buah jeruk kingkit. Mereka mengambil hanya untuk mainan, karena memang tidak enak dimakan. 

Menurut ceritanya seumur-umur juga baru sekali itu mereka menemukannya. Belakangan ini Hanun membaca di internet, ternyata jeruk kingkit merupakan tanaman obat.

Imajinasi masa kecil tentang rumah idaman seperti terpahat di pikiran Hanun. Sedangkan rumah impian Hafid sederhana. Berada di desa dengan nuansa lingkungan hijau dan asri. Ada kenyamanan dan ketenangan.

Menurut Hafid, itu bisa didapatkan dari rumah yang memiliki surau. Atau paling tidak dekat dengan surau. Barangkali terilhami dari rumah orang tuanya yang dekat dengan surau milik keluarga besarnya. Kebetulan ayah Hafid yang menjadi imamnya.

Inilah yang membuatnya ngotot memilih lahan yang tak begitu luas itu untuk mendirikan rumah yang telah diidam-idamkannya. Lahan yang letaknya persis di depan sebuah surau. Hafid memang sama sekali tak mempertimbangkan luasnya. Ia justru lebih memprioritaskan lokasinya.

***

Siang itu, Hanun tengah melipat pakaian yang baru saja diangkat dari tempat jemuran. Hafid mendekat, lalu duduk di sebelahnya. Sambil memegang pundak Hanun, Hafid mulai mengeluarkan jurus-jurus maut rayuannya. Merayu Hanun agar menyetujui pendirian rumah di lahan sempit itu. Untuk menguatkan alasannya, Hafid bak ustaz kondang menyampaikan tausiyah singkat tentang keutamaan tempat tinggal yang dekat dengan surau.

“Istriku yang dirahmati Allah, ketahuilah... Ada beberapa keutamaan rumah yang terletak di dekat surau. Pertama, hati akan adem saat mendengar azan. Bayangkan kalau jauh, bisa jadi tidak mendengar azan, saking jauhnya. Kedua, rumah akan aman dari gangguan setan. Ketiga, tidak berat untuk beribadah, terutama salat berjama’ah. Keempat, gampang mengajak anak ke surau. Dan Kelima, kecipratan berkah dari surau.” jelasnya penuh semangat.

***

Beberapa hari kemudian, dengan senang hati Hanun menyetujuinya. Hanun menyampaikan persetujuan itu dengan sedikit kata yang terlontar dari mulutnya. Tanpa panjang lebar. Tentunya dibumbui sedikit senyuman. Seperti yang selalu diajarkan Hafid kepadanya.

Mungkin ini jawaban dari Allah atas doa-doa Hafid. Alhamdulillah, akhirnya Hafid dan keluarga kecilnya memiliki rumah yang sesuai keinginan hati mereka. Dekat dengan surau. Dan kebahagiaan itu semakin terasa di hati mereka. Saat buah hatinya tiba-tiba tanpa diperintah bergegas lari ke surau ketika azan maghrib berkumandang. Padahal waktu itu dia masih berumur sekitar tiga tahun. Sampai di dalam surau dia menirukan gerakan-gerakan salat. Lalu saat Hafid mengajari anak-anak yang tinggal di sekitar surau membaca Al Qur’an, sang anak ikut duduk sambil pegang Buku Iqro’. Ikut-ikutan minta diajari.

Betapa bahagia ternyata rumah dekat dengan surau. Betul yang pernah disampaikan Hafid waktu itu, tidak kesulitan mengajak anak salat di surau. Bahkan yang lebih membahagiakan Hafid dan Hanun, anak semata wayangnya bercita-cita menjadi hafizah. 

Masya Allah. Tak pernah merugi punya rumah dekat dengan surau, rumah Allah.


Selasa, 23 Juni 2020

LELAKI DI TERAS RUMAH

Duduk di pojok teras sebelah timur, di bawah pohon mangga, dan di antara tanaman bunga. Kebiasaan yang dilakukannya setiap pagi beberapa tahun terakhir ini. 

"Berburu sinar matahari." begitu jawabnya sambil tersenyum, setiap ada orang lewat yang menyapa dan bertanya.

Itu pun kalau kebetulan ia mendengar. Maklumlah ia lahir setahun sebelum Indonesia merdeka. Jadi wajar jika sudah mulai mengalami masalah penurunan pendengaran. 

            ***

Pagi ini roda depanku berhenti persis di depan pagar rumahnya. Meski langit mendung, ia tetap diam di tempat biasanya. Entahlah, mungkin ada alasan lain yang sudah ia siapkan bila ada yang bertanya. 

Ia memicingkan mata. "Siapa ya?" sapanya dengan suara agak parau. Bukan ia tak mengenalku, tapi tak mengenaliku.

Dalam hitungan detik kunaikkan kaca helmku, kubalas sapaannya dengan senyuman. Setelah turun dari sadel, kutarik pintu pagar yang masih tertutup. Kulangkahkan kakiku, mendekati lelaki yang kukenal sejak empat puluh delapan tahun yang lalu. Ia terkekeh saat menatap wajahku, sambil menepuk-nepuk pundakku. Lalu buru-buru kuraih dan kucium punggung tangannya. 

"Ayo duduk di sana." pintanya seraya ibu jarinya menunjuk sederet kursi kayu yang terletak di teras sebelah barat. 

Tanpa diminta, kubantu ia untuk berdiri dan kupapah. Ia sedikit mengerang kesakitan begitu melangkahkan kakinya. Sakit? Iya, sakit yang ia rasakan  sudah bertahun-tahun dan tak kunjung sembuh. Keempat anaknya telah berupaya membawanya ke beberapa dokter. 

Menurut salah satu dokter, terjadi pengendoran otot pada bagian pantatnya. Selama ini obat-obatan yang diresepkan ahli kesehatan pun hanya mengurangi rasa sakitnya. Mungkin Allah memang belum memberikan kesembuhan melalui tangan para dokter itu. 

Pernah ditawari untuk memakai kursi roda, ia menolak. Alasannya belum begitu membutuhkan.  Tapi tak bisa menolak ketika enam tahun silam ia thawaf mengelilingi ka'bah. Mau tak mau harus mau, demi kelancaran ibadah umrohnya.  Yah, sekali itu saja. Mungkin sudah sangat mendesak.

Bila mengenang masa-masa itu, kadang kristal-kristal bening yang memenuhi kelopak matanya menetes di pipinya yang kusam. Rindu ka'bah? Rindu Allah? Tidak salah. Sekaligus rindu wanita yang membersamainya waktu itu. Rindu wanita yang setia mendampingi hidupnya. Rindu wanita yang melalui rahimnya telah melahirkan keempat amanah dari-Nya. Rindu wanita yang telah  berpulang mendahuluinya. 

Kini ia pun rindu. Telunjuknya menuding ponsel di genggamanku. 

"Aku ingin melihat Zahra di hape-mu." 

Zahra, gadis kecil yang lahir setahun setelah isterinya wafat. Sekarang genap dua tahun sepuluh bulan sebelas hari. Ia lambang buah cinta dari pasangan putra keempatnya. Ayahnya kerap merekam polah buah hati yang tengah lucu-lucunya itu. Lantas tak jarang pula, melayangkannya ke ponselku. 

Memang ada jarak yang menghalangi antara ia dan cucunya itu. Ada semesta yang memisahkan mereka. Bisa jadi itulah yang semakin menyulut rindunya. 

 Ketika kusetelkan rekaman gambar Zahra yang riang gembira itu,  ada gurat bahagia di wajahnya yang makin menua. Sangat bahagia. Aku larut dalam kebahagiaannya.

Hanya Zahra cucu yang dirinduinya? Oh tidak. Bukan tak rindu pada cucu lainnya, tetapi barangkali masa-masa lucu mereka yang telah terlewatkan. Hehe... Ketujuh cucu lainnya sudah besar, malah ada yang tergolong sudah remaja. Ia sangat menyayangi semua cucunya. Ia selalu rindu untuk bisa memeluknya.

              ***

Kulihat jam di pergelangan tanganku. Aku berniat pamit. Namun, rupanya ia belum ingin aku beranjak pergi. Ia masih ingin bercerita. Seperti kemarin-kemarin, ia selalu menceritakan kebaikan teman-temannya. Teman sekolahnya dulu, teman kerjanya dulu, teman seperjuangannya dulu. Kemudian menghitung teman-temannya yang kadang masih silaturahmi ke rumahnya. 

Dari semua ceritanya ada sebagian yang sudah kuhafal karena sering diulang. Tidak masalah. Aku tetap berusaha antusias menjadi pendengar baiknya.

Bukankah hanya itu yang ia butuhkan di masa-masa tuanya? Teman. Ia hanya butuh teman untuk menjadi pendengar yang baik.  Yang bersedia menampung segala cerita, di sela-sela ibadahnya. Ia tak butuh uang lagi. Uang dari pensiunannya sendiri ditambah pensiunannya sebagai duda sudah lebih dari cukup. Ia tidak butuh pakaian bagus, apalagi makanan enak. Semuanya  sudah ia dapatkan. Ia hanya butuh teman cerita. Itu saja. Sayangnya, tidak setiap waktu aku selalu ada untuknya.

Jumat, 19 Juni 2020

JEJAK PENA MITA (2)

Udara siang begitu panas dan menggerahkan. Bu Hasna memasuki ruang kelas. Ia melihat seorang anak yang tertidur dengan pulas. Saking pulasnya hingga tak menjawab salam yang diucapkan. Bu Guru yang penyabar itu mendekati dan menepuk bahunya. Tetap tak bergeming. 

Mita, Winda dan teman-temannya ramai memanggil namanya, "Daniiii....!!!"

Yang dipanggil namanya terjaga dan melihat sekeliling kelas dengan malu-malu. 

"Dani, sudah bermimpi?" tanya Bu Hasna. 

Dengan tersipu Dani menjawab, "Sudah." 

"Coba ceritakan mimpinya ya..." 

"Gak jelas kok, Bu."

Bu Hasna hanya tersenyum. Tapi dengan serentak seisi kelas tertawa riuh. 

"Sudah! Sudah!" tegas Bu Hasna. 

Setelah keadaan kelas kembali tenang, Bu Hasna mengajukan pertanyaan, "Siapakah yang memiliki mimpi?" 

"Saya, Bu!" jawab Murid laki-laki bernama Putra sambil mengacungkan tangan.

"Ceritakan mimpimu, Putra!"

"Begini, Bu... Tadi malam saya dituduh mencuri dompet seorang ibu. Saya sampai dimaki-maki. Padahal saya beneran gak mencuri. Eh, ternyata dompetnya ketinggalan di mobil. Lalu, ibu itu saya mintai uang ganti rugi. Karena telah memaki-maki saya. Dan saat saya akan menerima uang, tahu-tahu tangan saya dipukul bapak saya. Terus saya terbangun." Putra mengakhiri ceritanya dengan senyuman. 

"Hahahaaa... Lucu habis!" sahut Mita tertawa diikuti gelak tawa teman-temannya. 

"Yuk kita beri tepuk tangan untuk Putra." Suara keras  Bu Hasna menghentikan tawa mereka. Dan seketika terganti dengan suara tepuk tangan yang meriah. 

"Terima kasih, Putra. Ceritamu sangat menghibur. Baiklah... Yang disampaikan Putra tadi adalah mimpi saat tidur. Sekarang bagaimana dengan mimpi masa depan kalian?" 

"Maksudnya cita-cita ya, Bu?" tanya Winda.

"Iya. Apa cita-citamu Winda?" 

"Dokter, Bu." jawab murid perempuan yang selalu meraih nilai matematika tertinggi di kelasnya.

Kemudian Bu Hasna menanyai murid-muridnya satu per satu. Sebagian besar menjawab dokter, guru, tentara, polisi. Ada juga yang menjawab "belum tahu" dan "masih bingung". 

Namun, saat giliran Mita yang ditanya, dengan cepat ia menjawab, "Cita-cita saya ingin jadi penulis, Bu."

"Bagus!" Bu Hasna memuji Mita dengan mengacungkan dua jempolnya.

"Mengapa Mita ingin menjadi penulis?"

"Saya ingin terkenal, Bu. Seperti Mbak Asma Nadia. Punya dhuwit banyak dan bisa mengelilingi dunia." Dengan penuh ekspresif, Mita menuturkan alasannya ingin menjadi penulis. 

"Luar biasa... Oh ya Mita, kemarin sudah mendaftar pelatihan menulis Sasi Sabu?"

"Sudah, Bu."

"Ada lagi yang mau mendaftar?"

"Saya, Bu!" Winda mengacungkan jari.

"Selain Winda, ada lagi?"
Bu Hasna menuju meja guru, mencatat nama Winda di bukunya

"Bu Hasna, pelatihan menulis itu gimana sih? Kita ngapain aja?" tanya Nia penasaran.

"Pertanyaan yang bagus. Nia dan anak-anakku semua, dalam pelatihan menulis itu nanti akan diasah keterampilannya dalam menulis, mulai dari mencari sebuah ide kreatif, menumbuhkan kebiasaan menulis, hingga tips dan trik menerbitkan karya tersebut menjadi sebuah blog atau buku." 

Nia memperhatikan Bu Hasna sambil manggut-manggut.

"Bagaimana Nia, tertarik untuk ikut?"

"Saya pikir-pikir dulu ya, Bu."

(Bersambung)


Kamis, 18 Juni 2020

JEJAK PENA MITA (1)

Begitu menginjakkan kaki di perpustakaan, suasana  begitu hening. Kaki Mita spontan berjinjit saking tak ingin mengusik ketenangan. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Terlihat beberapa siswa duduk di meja. Mereka sibuk dengan buku masing-masing. 

Mita menghampiri Winda yang sedang berdiri menghadap rak buku berwarna cokelat yang menjulang tinggi. Tangan halusnya memegang-megang buku yang berjejer rapi. 

"Win, kamu jadi ikut gak?" Kehadiran Mita mengejutkan Winda yang tengah asyik memilih-milih buku. 

"Ikut apaan?" Winda menoleh dan menjawab pertanyaan Mita dengan balik bertanya.

"Sasi Sabu." 

Winda belum sempat menjawab. Mita sudah mengulang pertanyaannya lagi, "Jadi ikut gak?"

Sebenarnya Mita tak sekadar memastikan, tapi sangat mengharapkan Winda untuk ikut Sasi Sabu. Kebetulan Winda pernah bercerita, kalau ia tertarik dengan dunia tulis menulis. Itulah alasan Mita mengajak Winda.

Sayangnya ia tak menjelaskan pada Winda tentang Sasi Sabu. Winda tampak kebingungan. Sepertinya ia benar-benar lupa. Lagian sudah sebulan yang lalu Mita memberitahukan hal itu. Dan waktu itu hanya sambil lalu.

Seraya mengingat-ingat, Winda menggandeng tangan Mita menuju tempat duduk yang tak jauh dari mereka berdiri. Akhirnya saking penasaran ia pun bertanya, "Mita, Sasi Sabu apaan sih?" 

"Windaaaaa... Sejak kapan kamu jadi pelupa?" 

"Sejak dapat kakak kamu." Sahut Winda bercanda.

"Win, serius nih. Beneran lupa ya?"

Winda mengangguk.

"Itu lho... Satu siswa satu buku."

Winda menepuk-nepuk jidatnya. "Astaghfirullah. Oh, iya yaaa..."

"Kapan paling lambat pendaftarannya, Mit?" lanjut Winda.

"Lima hari lagi. Nanti langsung mendaftar pada Bu Hasna ya."

Hasna, nama yang disebut Mita itu adalah salah guru Bahasa Indonesia di sekolahnya. 

"Eh, Mit! Itu pelatihannya dua hari kan?"

Mita mengiyakan.

"Kayaknya yang sehari barengan dengan acara pernikahan tanteku deh."

"Yaaaaaah.... Trus gimana dong? Please... Ikuuut ya. Biar aku ada temannya." bujuk Mita.

Winda mendongak, menggembungkan pipinya seraya berpikir.

Mita bersuara lembut. Ia berusaha merayu Winda, "Ayo dong, Winda... Mumpung ada kesempatan."

"Ya udah, gini... Aku ikut yang hari pertama aja ya?"

"Trus yang hari kedua mau datang di acara tantemu ?"

"Ya, iyalah."

"Okelah kalau begitu... "

Mita tampak senang. Akhirnya ada temannya dalam pelatihan nanti, walau hanya sehari. 

Beberapa menit kemudian mereka terdiam. Winda membuka lembaran demi lembaran buku yang ada di hadapannya. Sementara Mita hanya memandangi sahabatnya itu. 

"Win... Coba pikirkan lagi deh. Jangan sampai menyesal..." ujar Mita memecah keheningan.

"Sebenarnya aku sih pinginnya begitu. Tapi acara nikahan kan cuma sekali, Mit."

"Iya, ya... Kok aku jadi maksa. Heheheee..." kata Mita sambil tertawa. Padahal tak lucu, tapi ia merasa geli sendiri. Winda pun ikut tertawa. 

Bahkan suara tawanya sampai mengusik anak-anak di sekelilingnya. Semua mata menatap ke arah mereka. Spontan  mereka menutup mulut dengan telapak tangannya masing-masing. 

Ada anak laki-laki yang menyeletuk dengan nada ketus, "Ngganggu aja! Ini perpustakaan, bukan pasar!" 

"Maaf yaa..." ucap Mita dan Winda hampir bersamaan. 

Iya, tanpa sengaja mereka berdua telah membuat kegaduhan di perpustakaan. Berhubung termasuk pelanggaran ringan petugas perpustakaan hanya memberi sanksi pada mereka, berupa peringatan.

Suasana kembali sunyi. Mita menengok arloji di pergelangan tangan kirinya. 

"Winda, lima menit lagi masuk. Yuk kembali ke kelas!" 

Dengan gesit Winda mengemasi buku-buku yang tergeletak di meja. Tak lama kemudian, mereka meninggalkan tempat itu. 

(Bersambung)

Kamis, 11 Juni 2020

KAMUKAH WANITA CANTIK ITU?

Jam 2 dini hari seorang wanita terbangun. Seperti hari lainnya, ia hendak menuju ke tempat wudu. Sebelum mengambil air wudu, biasanya mampir wastafel untuk menggosok gigi dulu.

Namun belum sampai wastafel, langkahnya terhenti di dekat mesin cuci. Matanya terbelalak melihat pemandangan yang tak biasa. Pakaian kotor menggunung di keranjang cucian. Lebih terkejut lagi saat menoleh ke bak cucian piring. Penuh dengan tumpukan piring, gelas, dan peralatan masak kotor yang sudah sedikit bau.

Mendadak hatinya terasa sumpek. Ia menggigit bibir bawahnya sambil mengepalkan tangannya. Menahan diri agar tak meledak amarahnya. Iya, emosinya tiba-tiba menjadi tak stabil. Barangkali rasa lelah yang memicunya.

Seminggu belakangan, ia memang sibuk mengikuti pelatihan daring. Waktunya banyak tersita untuk menyelesaikan tugas-tugas yang harus segera dikumpulkan. Sehingga urusan rumah tangganya pun keteteran. 

'Kreeeeekkk...'

Wanita itu menarik kursi dari bawah meja makan. Perlahan dihempaskan pantatnya ke tempat duduk yang terbuat dari rotan. Kemudian menghela nafas panjang. Tak berselang lama, tampak mulutnya menggumam. Lirih melafalkan kalimat istighfar berulang-ulang. 

Setelah agak tenang, ia beranjak dari duduknya. Bergegas mengambil air wudu, lantas buru-buru menuju tempat salat. Selepas menunaikan salat tahajud, ia menengadahkan tangan, melangitkan doa, dan memohon ampunan-Nya. 

Usai berdoa, ia terus melakukan aktivitas kerumahtanggaan yang sempat tertunda. Mencuci pakaian, membersihkan dapur dan seisi rumah. Ia melakukan semua itu dengan wajah ceria. Bahkan sangat ceria. 

Toh dengan amarah juga tak akan memperbaiki keadaan, begitu pikirnya. Pakaian, dapur dan seisi rumah tidak serta merta bersih begitu saja dengan kesal dan marah. Apalagi dengan keluhan. Justru akan menimbulkan masalah. 

Wahai Wanita, kamukah wanita di dalam cerita di atas? Wanita yang cantik hatinya. Wanita yang bisa menahan amarah ketika melihat pakaian, dapur dan seisi rumah serba kotor. Wanita yang bisa menenangkan diri ketika menghadapi masalah. Wanita yang bisa menyejukkan hati.

Selasa, 09 Juni 2020

JODOH TAK PERNAH SALAH

Adakah laki-laki yang bercita-cita mendapatkan isteri yang buruk rupa atau buruk perangainya? Tentu tidak, laki-laki manapun pasti menginginkan isteri yang cantik, cerdas, taat dan setumpuk kebaikan lainnya. Iya, dalam hal pasangan hidup memang bisa memilih. 

Menurut sebagian masyarakat Jawa, memilih pasangan hidup itu harus memperhatikan bibit, bebet dan bobotnya. Bibit berkaitan dengan asal usul keturunan. Bebet dipandang dari kondisi ekonomi. Dan bobot maksudnya kualitas diri, bisa dilihat dari watak, sifat atau tingkat kecerdasan.  

Entah mengapa laki-laki bernama Sadad ini memilih Karina sebagai isterinya? Apakah benar-benar memenuhi kriteria secara bibit, bebet dan bobotnya? Padahal Karina saat dipersunting, tinggal di sebuah panti asuhan. Artinya bibit dan bebetnya kurang begitu jelas. Atau barangkali ia hanya mempertimbangkan bobotnya? Bisa jadi, wanita yang sekarang menjadi ibu dari ketiga anaknya itu sungguh cantik, cerdas, bergelar sarjana pula. 

Pada awalnya, perjalanan hidup rumah tangga mereka tidak semulus jalan tol. Ada badai dan prahara kehidupan yang mau tidak mau harus mereka hadapi. Seringkali pemicunya hanya hal-hal sepele. Sadad merasa lebih berkomitmen. Karina merasa lebih berat bebannya dalam tugas rumah tangga. Sadad menganggap Karina boros. Karina menuding Sadad lebih mementingkan pekerjaan ketimbang keluarganya. Dan masih banyak permasalahan lainnya. 

Saat itu bila terjadi konflik, mereka selalu saling melempar kesalahan. Sadad menyangka Karina lah yang selalu melakukan kesalahan. Begitu juga Karina, menunjuk Sadad lah yang selalu  memulai keributan. Biarpun sering berdebat, tapi mereka selalu menemukan cara untuk berdamai.

Untuk menempuh jalan damai, biasanya mereka menggunakan gawai. Karina yang lebih dulu mengirim pesan. Ia sengaja memilih pesan, agar bisa mengabaikan perasaan jengkel yang kadang masih bersemayam di hatinya. Dengan pesan ia lebih bisa menyusun kata-kata yang tepat untuk mengungkapkan maksud hatinya. Lagi pula emosi Sadad pun mudah redam oleh kalimat-kalimat halus yang disampaikannya.

Seiring bertambahnya usia pernikahan mereka, Sadad makin mahir meredam emosinya. Malahan lebih mudah untuk memaafkan. Lebih-lebih sejak Karina rajin mengikuti pengajian, ia selalu berusaha untuk menahan amarahnya. Lebih sabar dan banyak mengalah demi menggapai ridha suaminya. Ia selalu ingat nasihat guru ngajinya, ridha suami adalah salah satu kunci masuk surga.

Kendati tidak tahu dari mana Karina berasal. Dari keluarga baik-baikkah? Atau dari keluarga beradakah? Akan tetapi nyatanya, tidak salah Sadad memilih Karina. Ia tidak hanya mendapatkan Karina yang cantik dan cerdas, ternyata juga baik akhlaknya. Mungkin itulah yang namanya jodoh.

Rabu, 03 Juni 2020

LANGSING HANYA DENGAN MENGUBAH MINDSET

Memiliki tubuh langsing adalah dambaan setiap perempuan. Bukan hanya gadis remaja, yang sudah menyandang gelar “ibu” pun masih mendambakannya. Bahkan yang sudah nenek-nenek sekalipun. 

DIET adalah salah satu kata yang sudah tidak asing lagi bagi pendamba langsing. Beragam jenis diet pun banyak ditawarkan di berbagai media. Ada diet yang menggunakan makanan organik, ada diet yang membatasi jumlah karbohidrat, ada diet tinggi protein, dan masih banyak lagi. 

Kebanyakan dari mereka yang mengharapkan tubuhnya langsing  juga sudah mengikuti beberapa program diet. Namun, sebagian masih ada yang belum berhasil. Salah satu alasan kegagalannya yaitu belum mengubah  cara berpikir tentang gaya hidup yang sehat. Sehingga dalam menjalankan diet masih sering melakukan hal-hal yang tidak menyehatkan. Termasuk masih mengonsumsi makanan yang "tidak sehat". 

Satu hal yang sangat penting dilakukan agar diet berhasil adalah mengubah mindset "Aku harus hidup dengan makanan sehat". Dengan mindset tersebut akan menyadarkan kita bahwa hanya makanan sehat yang boleh dimakan. Jika pola pikir kita sudah benar-benar berubah, kita akan mulai selektif memilih makanan. Otak kita akan menolak aneka makanan yang tidak menyehatkan, karena yang terpikir di otak kita makanan-makanan sehat saja. 

Seperti yang sudah kita ketahui bahwa sayur dan buah merupakan contoh bahan makanan yang tergolong sehat. Keduanya aman dikonsumsi dalam jangka waktu pendek maupun panjang. Untuk mendapatkannya pun tidak sulit. Apalagi belakangan ini banyak petani yang membudidayakan sayur dan buah di tanah yang sehat. Tanah yang tinggi mineral, bebas dari bahan kimia sintetik, mendapat cahaya matahari, dan tidak terpapar logam berat. 

Contoh makanan sehat lainnya, seperti ikan, daging dan telor. Bahan makanan hewani ini memiliki kandungan gizi yang kaya akan manfaat bagi tubuh. Oleh karena itu, sebaiknya tidak melakukan terlalu banyak proses pengolahan untuk bahan makanan tersebut. Apabila terlalu banyak proses pengolahan  bisa membuat gizi hilang atau rusak. Semakin sedikit pemrosesan, semakin baik. 

Itulah beberapa contoh makanan sehat. Tentunya masih banyak makanan-makanan sehat lainnya yang terdapat di sekitar kita. Bila masih ada yang belum paham tentang makanan sehat, dapat mencari tahu melalui akses internet. Masih belum yakin juga? Silahkan konsultasikan dengan ahli gizi. Mudah bukan?

Konsisten menjaga pola makan sehat menjadi hal yang terpenting untuk meraih impian sehat. Kok sehat, bukankah yang diimpikan langsing? Iya, sehat dulu langsing kemudian. Langsing itu bonus dari gaya hidup sehat. 

Kalau banyak makanan-makanan yang menyehatkan, untuk apa masih mengonsumsi makanan yang membuat kita sakit? 

Semoga bermanfaat.

BALASAN KEBAIKAN

Umayah, biasa disapa Mbah Yah. Usianya hampir delapan puluh tahun. Suaminya, seorang tukang kayu yang meninggal tiga puluh tahun yang lalu. Dari pernikahanya ia dikaruniai satu anak laki-laki.

Sebagian besar umurnya ia habiskan untuk mengabdi pada pemilik toko serba ada. Kurang lebih selama empat puluh tahun. Bukan sebagai pramuniaga, tapi menjadi asisten rumah tangga. Berangkat pagi pulang petang. Saking lamanya, sampai tidak tampak lagi hubungan antara pembantu dan majikan. Kedekatan mereka sudah seperti keluarga.

Dari upah yang ia terima, bisa untuk menopang kebutuhan hidup keluarganya. Walau upahnya tak begitu besar, ia bisa menyekolahkan anaknya hingga STM (sekarang SMK), membeli tanah dan merenovasi rumahnya. Bahkan semenjak anaknya berkeluarga, ia bisa menabung. 

Umumnya, menabung itu untuk bekal di hari tua. Tapi tidak untuk Mbah Yah, impiannya lebih jauh ke depan. Ia mengumpulkan uang sedikit demi sedikit untuk bersedekah, membeli kambing kurban dan berinfak ke surau atau masjid. Setiap surau samping rumahnya mengadakan perbaikan, ia pasti ikut menyumbang. Dan yang tidak pernah terlewatkan, setiap berangkat jama'ah subuh ia selalu memasukkan uang ke kotak infak.

Setelah ia tidak bekerja menjadi asisten rumah tangga, ia mengangkat dirinya sebagai cleaning servis surau. Tanpa ada yang meminta, ia menyapu, mengepel, dan membersihkan tempat wudu seminggu tiga kali. "Untuk menambah bekal." Begitu setiap ditanya, mengapa ia mau melakukan semua itu. Bahkan bahan dan alat kebersihan juga ia beli dengan uangnya sendiri. Selain itu, ia juga mengisi hari tuanya dengan mengikuti pengajian di hari Senin, Rabu, dan Kamis.

"Tidak ada balasan untuk kebaikan selain kebaikan (pula)." (QS. Ar-Rahman: 60)

Nah sekecil apapun perbuatan baik yang kita lakukan, pasti akan dibalas dengan perbuatan baik juga. Begitupun yang dialami oleh Mbah Yah. Dari dulu selalu saja ada orang yang berbuat baik kepadanya. Apalagi sekarang, sejak ia tidak bekerja ada yang menjatah makanan, ada yang menyokong dalam bentuk uang, dan ada yang  membiayai saat dia sakit. 

Kebaikan bisa dilakukan siapa saja, tanpa memandang status sosial. Jika Mbah Yah dalam keterbatasannya tidak pernah berhenti melakukan kebaikan. Barangkali kita yang dalam keadaan berkecukupan mestinya tidak boleh kalah.

Semoga Allah melimpahkan banyak kebaikan pada kita dan memberi kekuatan pada kita untuk selalu melakukan kebaikan.

Senin, 01 Juni 2020

Raih Bahagia Berujung Malapetaka

Tidak ada orang yang tidak menginginkan hidup bahagia. Apapun akan dilakukan untuk meraih kebahagiaan. Termasuk seorang tenaga kerja wanita dalam kisah berikut ini.  

Sejak menikah, wanita paruh baya ini hanya mengurus rumah tangga sambil menjadi buruh cuci. Suaminya yang lulusan SMP bekerja serabutan. Mereka tinggal di sebuah rumah kayu, pemberian orangtuanya. Pasangan suami isteri itu dikaruniai tiga anak.

Suatu hari sang suami mengijinkan wanita tersebut untuk berangkat ke negeri jiran. Saat meninggalkan rumah, anaknya yang pertama dan yang kedua masih duduk di bangku SD. Sedangkan yang bungsu berumur 4 tahun. Tidak ada alasan lain bagi seorang ibu rela berpisah dengan keluarga selain ingin membahagiakannya. Ia bekerja menjadi asisten rumah tangga.

Lima tahun pertama gajinya cukup untuk memenuhi kebutuhan suami dan anak-anaknya. Alhamdulillah. Tahun berganti tahun, ekonominya pun kian meningkat. Sang suami berhasil menyisihkan uang kiriman  untuk memperbaiki rumahnya, membeli TV yang lebih besar, dan sepeda motor.

Namun, sayangnya di tahun kesepuluh sang suami berulah. Ia mulai judi, minum minuman keras, dan parahnya lagi suka main perempuan. Kemudian singkat cerita, mereka pun bercerai. Anak-anaknya tetap diasuh bapaknya, karena ibunya melanjutkan pekerjaannya menjadi TKW.

Selama dalam pengasuhan bapaknya, anak-anak yang mulai beranjak remaja itu tak terkontrol pergaulannya. Anak sulungnya terlibat kasus narkoba. Yang perempuan hamil di luar nikah. Yang bungsu tidak mau bersekolah.

Bertambahnya materi tanpa diimbangi dengan bertambahnya iman akan berujung malapetaka. Seperti pada kisah di atas, dengan adanya peningkatan kondisi ekonomi tidak menjadikan mereka bersyukur dan makin dekat dengan Allah. Akan tetapi, justru membuat suami dan anak-anaknya terjerumus dalam kemaksiatan. Jangankan bahagia di akhirat, bahagia di dunia pun tak mereka dapatkan. 

Naudzubillah min dzalik. 

GLOBALISASI

Globalisasi adalah suatu proses dimana semua penduduk di dunia ini bisa saling terhubung bertukar segala sesuatu tanpa terikat b...