By Siswi Mardiastuti
“Love never keeps a man from pursuing his destiny.”
(The Alchemist -
Paulo Coelho)
Sepulang dari
pelatihan, aku membuka ponsel sekadar
memeriksa notifikasi. Ratusan pesan masuk di beberapa grup Whatsapp-ku. Sebagian pesan yang telah kubaca, kubersihkan agar tak
memenuhi memori.
Meski tak ada
notifikasi instagram yang muncul di layar ponsel, aku juga membuka akun yang
sudah lama kubiarkan itu. Aku memandangi satu per satu photo yang pernah kuunggah,
kubaca caption-caption nya. Sambil
sesekali tersenyum sendiri saat menemukan caption
yang lebay dan alay.
Ada sebuah photo yang mengingatkanku tentang sepenggal kisah cinta. Photo “Kampus Api Abadi”, captionnya “Sebuah tempat sejuta makna. Itu bagiku. Bagimu?”
Seingatku, photo itu juga kuunggah di facebook, ada yang komentar bahwa tempat itu juga sangat berarti baginya. Bahkan minta ijin padaku untuk membagi photo tersebut di dinding facebook-nya. Ternyata bermanfaat juga bagi orang lain. Padahal aku mengambil photo itu dengan tak sengaja, sekenanya saja.
Waktu itu, aku bersama suami sedang menjemput anak kami yang memang menimba ilmu di situ. Putri semata wayang kami pulang study tour dari Bali. Beberapa bis sudah ada yang datang, tapi bis yang ditumpanginya belum kelihatan.
Diparkirkanlah mobil di halaman depan sekolah itu. Berhubung tak ada tempat untuk duduk di sekitar situ, aku tetap di dalam mobil. Tiba-tiba begitu melihat tulisan “Kampus Api Abadi”, refleks saja tangan ini “cekrek”. Kemudian sampai di rumah terpikirlah untuk mengabadikan sebuah kenangan cinta. Lalu keluarlah caption seperti itu.
Kampus Api Abadi
merupakan kampus sebuah sekolah menengah atas
yang letaknya dekat dengan lokasi wisata Api Abadi Mrapen, Kecamatan
Godong, Kabupaten Grobogan, Provinsi Jawa Tengah. Di sekolah ini pertama kali aku
mengajar. Di tempat ini pula aku dipertemukan dengan tambatan hati.
Tepatnya bulan
September 1997, secara bersamaan kami diterima
di sekolah tersebut sebagai guru honorer. Aku mengajar Ekonomi/Akuntansi, ia
mengajar Pendidikan Agama Islam. Kami juga sama-sama mendapatkan tugas mengajar kelas
dua. Usiaku ketika itu 25 tahun 6 bulan, Usianya 24 tahun 6 bulan. Satu tahun
lebih muda dariku.
Itulah mengapa aku menolak ketika ia pertama kali menyatakan keseriusannya untuk mengajakku menikah. Tak ada bayangan sama sekali akan berumah tangga dengan orang yang lebih muda. Apalagi waktu itu penampilannya tak jauh beda dengan murid-murid kami. Iya, posturnya masih seperti anak SMA. Meski secara pola pikIr sebenarnya dia cukup dewasa dan mandiri. Namun, itupun belum membuatku bisa menerima niat baiknya.
Itulah mengapa aku menolak ketika ia pertama kali menyatakan keseriusannya untuk mengajakku menikah. Tak ada bayangan sama sekali akan berumah tangga dengan orang yang lebih muda. Apalagi waktu itu penampilannya tak jauh beda dengan murid-murid kami. Iya, posturnya masih seperti anak SMA. Meski secara pola pikIr sebenarnya dia cukup dewasa dan mandiri. Namun, itupun belum membuatku bisa menerima niat baiknya.
Selang waktu berjalan
ia kembali menanyakan tentang niat awalnya ingin menikahiku. Rupanya ia
istiqomah dengan niatnya. Kali ini aku tak begitu saja menolak. Aku minta waktu
untuk memutuskan jawabannya. Aku mulai teringat doa-doa yang selalu aku panjatkan
tentang sosok pria idaman. Doaku cukup sederhana, aku ingin mendapatkan calon
suami yang paham agama sehingga bisa
menjadi imam yang baik. Begitu saja. Kulalui
hampir setiap malamku dengan istikharah.
Alhamdulillah…
Bersama waktu yang telah kulewati, Allah menjawab doa-doaku.
Mantaaap. Ternyata yang tidak sengaja kita lakukan (ngejepret lalu diunggah) berarti bagi yg lain.
BalasHapusDitunggu story berikutnya mba
From: Yessy Eria
Makasih, mbakku syantiiik 😘
BalasHapusMakin hoke blognya mbae. Aku juga masih belajar menghiasnya. Tapi kekurangan waktu.... Biarlah dulu, yang penting aku sudah punya ruang yang nyaman buat menumpahkan semua ide yang ada di kepala.
BalasHapus