Udara siang begitu panas dan menggerahkan. Bu Hasna memasuki ruang kelas. Ia melihat seorang anak yang tertidur dengan pulas. Saking pulasnya hingga tak menjawab salam yang diucapkan. Bu Guru yang penyabar itu mendekati dan menepuk bahunya. Tetap tak bergeming.
Mita, Winda dan teman-temannya ramai memanggil namanya, "Daniiii....!!!"
Yang dipanggil namanya terjaga dan melihat sekeliling kelas dengan malu-malu.
"Dani, sudah bermimpi?" tanya Bu Hasna.
Dengan tersipu Dani menjawab, "Sudah."
"Coba ceritakan mimpinya ya..."
"Gak jelas kok, Bu."
Bu Hasna hanya tersenyum. Tapi dengan serentak seisi kelas tertawa riuh.
"Sudah! Sudah!" tegas Bu Hasna.
Setelah keadaan kelas kembali tenang, Bu Hasna mengajukan pertanyaan, "Siapakah yang memiliki mimpi?"
"Saya, Bu!" jawab Murid laki-laki bernama Putra sambil mengacungkan tangan.
"Ceritakan mimpimu, Putra!"
"Begini, Bu... Tadi malam saya dituduh mencuri dompet seorang ibu. Saya sampai dimaki-maki. Padahal saya beneran gak mencuri. Eh, ternyata dompetnya ketinggalan di mobil. Lalu, ibu itu saya mintai uang ganti rugi. Karena telah memaki-maki saya. Dan saat saya akan menerima uang, tahu-tahu tangan saya dipukul bapak saya. Terus saya terbangun." Putra mengakhiri ceritanya dengan senyuman.
"Hahahaaa... Lucu habis!" sahut Mita tertawa diikuti gelak tawa teman-temannya.
"Yuk kita beri tepuk tangan untuk Putra." Suara keras Bu Hasna menghentikan tawa mereka. Dan seketika terganti dengan suara tepuk tangan yang meriah.
"Terima kasih, Putra. Ceritamu sangat menghibur. Baiklah... Yang disampaikan Putra tadi adalah mimpi saat tidur. Sekarang bagaimana dengan mimpi masa depan kalian?"
"Maksudnya cita-cita ya, Bu?" tanya Winda.
"Iya. Apa cita-citamu Winda?"
"Dokter, Bu." jawab murid perempuan yang selalu meraih nilai matematika tertinggi di kelasnya.
Kemudian Bu Hasna menanyai murid-muridnya satu per satu. Sebagian besar menjawab dokter, guru, tentara, polisi. Ada juga yang menjawab "belum tahu" dan "masih bingung".
Namun, saat giliran Mita yang ditanya, dengan cepat ia menjawab, "Cita-cita saya ingin jadi penulis, Bu."
"Bagus!" Bu Hasna memuji Mita dengan mengacungkan dua jempolnya.
"Mengapa Mita ingin menjadi penulis?"
"Saya ingin terkenal, Bu. Seperti Mbak Asma Nadia. Punya dhuwit banyak dan bisa mengelilingi dunia." Dengan penuh ekspresif, Mita menuturkan alasannya ingin menjadi penulis.
"Luar biasa... Oh ya Mita, kemarin sudah mendaftar pelatihan menulis Sasi Sabu?"
"Sudah, Bu."
"Ada lagi yang mau mendaftar?"
"Saya, Bu!" Winda mengacungkan jari.
"Selain Winda, ada lagi?"
Bu Hasna menuju meja guru, mencatat nama Winda di bukunya
"Bu Hasna, pelatihan menulis itu gimana sih? Kita ngapain aja?" tanya Nia penasaran.
"Pertanyaan yang bagus. Nia dan anak-anakku semua, dalam pelatihan menulis itu nanti akan diasah keterampilannya dalam menulis, mulai dari mencari sebuah ide kreatif, menumbuhkan kebiasaan menulis, hingga tips dan trik menerbitkan karya tersebut menjadi sebuah blog atau buku."
Nia memperhatikan Bu Hasna sambil manggut-manggut.
"Bagaimana Nia, tertarik untuk ikut?"
"Saya pikir-pikir dulu ya, Bu."
(Bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar