Adakah laki-laki yang bercita-cita mendapatkan isteri yang buruk rupa atau buruk perangainya? Tentu tidak, laki-laki manapun pasti menginginkan isteri yang cantik, cerdas, taat dan setumpuk kebaikan lainnya. Iya, dalam hal pasangan hidup memang bisa memilih.
Menurut sebagian masyarakat Jawa, memilih pasangan hidup itu harus memperhatikan bibit, bebet dan bobotnya. Bibit berkaitan dengan asal usul keturunan. Bebet dipandang dari kondisi ekonomi. Dan bobot maksudnya kualitas diri, bisa dilihat dari watak, sifat atau tingkat kecerdasan.
Entah mengapa laki-laki bernama Sadad ini memilih Karina sebagai isterinya? Apakah benar-benar memenuhi kriteria secara bibit, bebet dan bobotnya? Padahal Karina saat dipersunting, tinggal di sebuah panti asuhan. Artinya bibit dan bebetnya kurang begitu jelas. Atau barangkali ia hanya mempertimbangkan bobotnya? Bisa jadi, wanita yang sekarang menjadi ibu dari ketiga anaknya itu sungguh cantik, cerdas, bergelar sarjana pula.
Pada awalnya, perjalanan hidup rumah tangga mereka tidak semulus jalan tol. Ada badai dan prahara kehidupan yang mau tidak mau harus mereka hadapi. Seringkali pemicunya hanya hal-hal sepele. Sadad merasa lebih berkomitmen. Karina merasa lebih berat bebannya dalam tugas rumah tangga. Sadad menganggap Karina boros. Karina menuding Sadad lebih mementingkan pekerjaan ketimbang keluarganya. Dan masih banyak permasalahan lainnya.
Saat itu bila terjadi konflik, mereka selalu saling melempar kesalahan. Sadad menyangka Karina lah yang selalu melakukan kesalahan. Begitu juga Karina, menunjuk Sadad lah yang selalu memulai keributan. Biarpun sering berdebat, tapi mereka selalu menemukan cara untuk berdamai.
Untuk menempuh jalan damai, biasanya mereka menggunakan gawai. Karina yang lebih dulu mengirim pesan. Ia sengaja memilih pesan, agar bisa mengabaikan perasaan jengkel yang kadang masih bersemayam di hatinya. Dengan pesan ia lebih bisa menyusun kata-kata yang tepat untuk mengungkapkan maksud hatinya. Lagi pula emosi Sadad pun mudah redam oleh kalimat-kalimat halus yang disampaikannya.
Seiring bertambahnya usia pernikahan mereka, Sadad makin mahir meredam emosinya. Malahan lebih mudah untuk memaafkan. Lebih-lebih sejak Karina rajin mengikuti pengajian, ia selalu berusaha untuk menahan amarahnya. Lebih sabar dan banyak mengalah demi menggapai ridha suaminya. Ia selalu ingat nasihat guru ngajinya, ridha suami adalah salah satu kunci masuk surga.
Kendati tidak tahu dari mana Karina berasal. Dari keluarga baik-baikkah? Atau dari keluarga beradakah? Akan tetapi nyatanya, tidak salah Sadad memilih Karina. Ia tidak hanya mendapatkan Karina yang cantik dan cerdas, ternyata juga baik akhlaknya. Mungkin itulah yang namanya jodoh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar