Meski bukan rumah idaman bagi kebanyakan orang, akan tetapi mereka nyaman berada di dalamnya. Karena bukan tanpa alasan mereka memutuskan untuk memilih tinggal di situ. Di rumah yang didirikan di atas tanah kakak tertua Hafid.
Awalnya, Hafid minta pertimbangan pada Hanun. Sebelum mendirikan rumah di atas tanah yang memang tak seberapa luas itu.
“Dik, gimana kalau kita bikin rumah? Kecil-kecilan aja.” Hafid mengawali pembicaraannya sambil berdiri di pintu kamar.
“Emang kita punya tanah?” jawab Hanun yang sedang duduk di tepi ranjang kayu sambil menidurkan buah hatinya.
“Ya nggak…” Hafid menjawab lirih sambil melangkah menghampiri wanita yang berusia hampir tiga puluhan itu.
Hanun tersenyum memandang wajah laki-laki yang usianya setahun lebih muda darinya. “Lalu kita mau bikin rumah di mana, Mas?”
“Begini Dik, ada tanah kosong milik Mbak Zahra. Tanah itu tuh, yang di depan Mushola Al Ikhlas. Tahu nggak?”
“Tanah itu kayaknya sempit ya, Mas?”
Hanun sepertinya agak keberatan. Hanun menginginkan tanah yang lebih luas. Seperti impiannya waktu kecil, memiliki rumah dengan halaman yang luas dan kebun buah di belakang rumah.
Impian yang terinspirasi dari sebuah rumah dekat rumah kontrakan orang tuanya dulu. Rumah yang besar dan megah, halamannya sangat luas penuh dengan tanaman buah. Pagarnya tinggi terbuat dari besi. Catnya putih. Mewah. Entahlah rumah itu milik siapa. Kata penjaganya, rumah itu dulu milik orang Belanda. Sekarang rumah itu masih ada. Namun tampak tak terawat dan agak menyeramkan.
Dahulu Hanun bersama teman-teman SD-nya sering bermain ke rumah itu. Mereka sering mengambil buah bentuknya bulat kecil, warnanya ada yang oranye, ada yang merah. Mungkin yang merah itu yang sudah matang. Salah satu dari mereka pernah bertanya pada penjaga rumah itu, namanya buah jeruk kingkit. Mereka mengambil hanya untuk mainan, karena memang tidak enak dimakan.
Menurut ceritanya seumur-umur juga baru sekali itu mereka menemukannya. Belakangan ini Hanun membaca di internet, ternyata jeruk kingkit merupakan tanaman obat.
Imajinasi masa kecil tentang rumah idaman seperti terpahat di pikiran Hanun. Sedangkan rumah impian Hafid sederhana. Berada di desa dengan nuansa lingkungan hijau dan asri. Ada kenyamanan dan ketenangan.
Menurut Hafid, itu bisa didapatkan dari rumah yang memiliki surau. Atau paling tidak dekat dengan surau. Barangkali terilhami dari rumah orang tuanya yang dekat dengan surau milik keluarga besarnya. Kebetulan ayah Hafid yang menjadi imamnya.
Inilah yang membuatnya ngotot memilih lahan yang tak begitu luas itu untuk mendirikan rumah yang telah diidam-idamkannya. Lahan yang letaknya persis di depan sebuah surau. Hafid memang sama sekali tak mempertimbangkan luasnya. Ia justru lebih memprioritaskan lokasinya.
***
Siang itu, Hanun tengah melipat pakaian yang baru saja diangkat dari tempat jemuran. Hafid mendekat, lalu duduk di sebelahnya. Sambil memegang pundak Hanun, Hafid mulai mengeluarkan jurus-jurus maut rayuannya. Merayu Hanun agar menyetujui pendirian rumah di lahan sempit itu. Untuk menguatkan alasannya, Hafid bak ustaz kondang menyampaikan tausiyah singkat tentang keutamaan tempat tinggal yang dekat dengan surau.
“Istriku yang dirahmati Allah, ketahuilah... Ada beberapa keutamaan rumah yang terletak di dekat surau. Pertama, hati akan adem saat mendengar azan. Bayangkan kalau jauh, bisa jadi tidak mendengar azan, saking jauhnya. Kedua, rumah akan aman dari gangguan setan. Ketiga, tidak berat untuk beribadah, terutama salat berjama’ah. Keempat, gampang mengajak anak ke surau. Dan Kelima, kecipratan berkah dari surau.” jelasnya penuh semangat.
***
Beberapa hari kemudian, dengan senang hati Hanun menyetujuinya. Hanun menyampaikan persetujuan itu dengan sedikit kata yang terlontar dari mulutnya. Tanpa panjang lebar. Tentunya dibumbui sedikit senyuman. Seperti yang selalu diajarkan Hafid kepadanya.
Mungkin ini jawaban dari Allah atas doa-doa Hafid. Alhamdulillah, akhirnya Hafid dan keluarga kecilnya memiliki rumah yang sesuai keinginan hati mereka. Dekat dengan surau. Dan kebahagiaan itu semakin terasa di hati mereka. Saat buah hatinya tiba-tiba tanpa diperintah bergegas lari ke surau ketika azan maghrib berkumandang. Padahal waktu itu dia masih berumur sekitar tiga tahun. Sampai di dalam surau dia menirukan gerakan-gerakan salat. Lalu saat Hafid mengajari anak-anak yang tinggal di sekitar surau membaca Al Qur’an, sang anak ikut duduk sambil pegang Buku Iqro’. Ikut-ikutan minta diajari.
Betapa bahagia ternyata rumah dekat dengan surau. Betul yang pernah disampaikan Hafid waktu itu, tidak kesulitan mengajak anak salat di surau. Bahkan yang lebih membahagiakan Hafid dan Hanun, anak semata wayangnya bercita-cita menjadi hafizah.
Masya Allah. Tak pernah merugi punya rumah dekat dengan surau, rumah Allah.
Barakallah mbak siswi... semiga makin nyaman di blog ini...
BalasHapusJazakallah, Ustadz 🙏
BalasHapusSubhanallah mba Diasti.... Blognya bagus. Semoga kita makin betah nulis setelah punya blog ya...
BalasHapusAamiin... Makasih, Mbak Leni. Semangat 💪
HapusWuuuih mantaaap bingit
BalasHapusMakasih, Mbak Yessy 🙏
Hapus