Duduk di pojok teras sebelah timur, di bawah pohon mangga, dan di antara tanaman bunga. Kebiasaan yang dilakukannya setiap pagi beberapa tahun terakhir ini.
"Berburu sinar matahari." begitu jawabnya sambil tersenyum, setiap ada orang lewat yang menyapa dan bertanya.
Itu pun kalau kebetulan ia mendengar. Maklumlah ia lahir setahun sebelum Indonesia merdeka. Jadi wajar jika sudah mulai mengalami masalah penurunan pendengaran.
***
Pagi ini roda depanku berhenti persis di depan pagar rumahnya. Meski langit mendung, ia tetap diam di tempat biasanya. Entahlah, mungkin ada alasan lain yang sudah ia siapkan bila ada yang bertanya.
Ia memicingkan mata. "Siapa ya?" sapanya dengan suara agak parau. Bukan ia tak mengenalku, tapi tak mengenaliku.
Dalam hitungan detik kunaikkan kaca helmku, kubalas sapaannya dengan senyuman. Setelah turun dari sadel, kutarik pintu pagar yang masih tertutup. Kulangkahkan kakiku, mendekati lelaki yang kukenal sejak empat puluh delapan tahun yang lalu. Ia terkekeh saat menatap wajahku, sambil menepuk-nepuk pundakku. Lalu buru-buru kuraih dan kucium punggung tangannya.
"Ayo duduk di sana." pintanya seraya ibu jarinya menunjuk sederet kursi kayu yang terletak di teras sebelah barat.
Tanpa diminta, kubantu ia untuk berdiri dan kupapah. Ia sedikit mengerang kesakitan begitu melangkahkan kakinya. Sakit? Iya, sakit yang ia rasakan sudah bertahun-tahun dan tak kunjung sembuh. Keempat anaknya telah berupaya membawanya ke beberapa dokter.
Menurut salah satu dokter, terjadi pengendoran otot pada bagian pantatnya. Selama ini obat-obatan yang diresepkan ahli kesehatan pun hanya mengurangi rasa sakitnya. Mungkin Allah memang belum memberikan kesembuhan melalui tangan para dokter itu.
Pernah ditawari untuk memakai kursi roda, ia menolak. Alasannya belum begitu membutuhkan. Tapi tak bisa menolak ketika enam tahun silam ia thawaf mengelilingi ka'bah. Mau tak mau harus mau, demi kelancaran ibadah umrohnya. Yah, sekali itu saja. Mungkin sudah sangat mendesak.
Bila mengenang masa-masa itu, kadang kristal-kristal bening yang memenuhi kelopak matanya menetes di pipinya yang kusam. Rindu ka'bah? Rindu Allah? Tidak salah. Sekaligus rindu wanita yang membersamainya waktu itu. Rindu wanita yang setia mendampingi hidupnya. Rindu wanita yang melalui rahimnya telah melahirkan keempat amanah dari-Nya. Rindu wanita yang telah berpulang mendahuluinya.
Kini ia pun rindu. Telunjuknya menuding ponsel di genggamanku.
"Aku ingin melihat Zahra di hape-mu."
Zahra, gadis kecil yang lahir setahun setelah isterinya wafat. Sekarang genap dua tahun sepuluh bulan sebelas hari. Ia lambang buah cinta dari pasangan putra keempatnya. Ayahnya kerap merekam polah buah hati yang tengah lucu-lucunya itu. Lantas tak jarang pula, melayangkannya ke ponselku.
Memang ada jarak yang menghalangi antara ia dan cucunya itu. Ada semesta yang memisahkan mereka. Bisa jadi itulah yang semakin menyulut rindunya.
Ketika kusetelkan rekaman gambar Zahra yang riang gembira itu, ada gurat bahagia di wajahnya yang makin menua. Sangat bahagia. Aku larut dalam kebahagiaannya.
Hanya Zahra cucu yang dirinduinya? Oh tidak. Bukan tak rindu pada cucu lainnya, tetapi barangkali masa-masa lucu mereka yang telah terlewatkan. Hehe... Ketujuh cucu lainnya sudah besar, malah ada yang tergolong sudah remaja. Ia sangat menyayangi semua cucunya. Ia selalu rindu untuk bisa memeluknya.
***
Kulihat jam di pergelangan tanganku. Aku berniat pamit. Namun, rupanya ia belum ingin aku beranjak pergi. Ia masih ingin bercerita. Seperti kemarin-kemarin, ia selalu menceritakan kebaikan teman-temannya. Teman sekolahnya dulu, teman kerjanya dulu, teman seperjuangannya dulu. Kemudian menghitung teman-temannya yang kadang masih silaturahmi ke rumahnya.
Dari semua ceritanya ada sebagian yang sudah kuhafal karena sering diulang. Tidak masalah. Aku tetap berusaha antusias menjadi pendengar baiknya.
Bukankah hanya itu yang ia butuhkan di masa-masa tuanya? Teman. Ia hanya butuh teman untuk menjadi pendengar yang baik. Yang bersedia menampung segala cerita, di sela-sela ibadahnya. Ia tak butuh uang lagi. Uang dari pensiunannya sendiri ditambah pensiunannya sebagai duda sudah lebih dari cukup. Ia tidak butuh pakaian bagus, apalagi makanan enak. Semuanya sudah ia dapatkan. Ia hanya butuh teman cerita. Itu saja. Sayangnya, tidak setiap waktu aku selalu ada untuknya.
Masya Allah.... Ceritanya bikin terhanyut Bu Dinasti....
BalasHapusHmmm... Jadi ikut sedih, Mbak Leni 😢
HapusAku tak selalu ada untuknya....aku anaknyakah? His...his...
BalasHapusIya, mbak Yessy. Tapi gak tinggal serumah. Jadi hanya sesekali bersamanya. 😊
Hapus